Jumat, 09 Maret 2018

Berharap Terbitnya Harga

Baru-baru ini, beberapa perwakilan peternak layer dan broiler melalui asosiasi masingmasing diundang oleh Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, di mana pokok bahasan dari focup group discussion (FGD) tersebut membahas rencana penetapan harga referensi untuk live bird (LB) dan telur di tingkat peternak. Diskusi cukup menarik mengingat variabel yang menjadi perdebatan khususnya pada budi daya broiler adalah komponen biaya dari harga day old chick (DOC).

                                                           



Dalam diskusi tersebut, perwakilan asosiasi pembibit mengusulkan adanya variabel kasus penyakit dan pemangkasan dalam penetapan harga referensi untuk DOC. Kasus pemangkasan DOC pada perusahaan breeding merupakan kebijakan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam upaya untuk menstabilkan harga LB di tingkat peternak yang selama ini mengalami fluktuasi cukup tajam. Tentu saja, perwakilan dari peternak tidak sependapat dengan usulan tersebut di mana beban biaya yang timbul dari usaha pembibitan hendaknya jangan sampai dibebankan kepada harga DOC, yang notabene konsumen dari DOC itu sendiri adalah para peternak. Sebenarnya pandangan tersebut cukup realistis jika dipandang dari sudut produsen DOC, yang mana dalam perhitungan ekonomi untuk menghasilkan DOC saat ini tidak kurang dari Rp 4.850 per ekor, sehingga harga yang pantas sampai peternak di luar ongkos angkut adalah 30% dari harga LB di pasaran. Artinya apabila harga LB saat ini dengan ukuran 1,6 kilogram ditingkat peternak sebesar Rp 17.500 maka harga DOC yang berlaku adalah 30% dari harga LB atau sebesar Rp 5.250. Tetapi bukan persoalan harga DOC yang menjadi perdebatan, justru yang menjadi perdebatan bagaimana menegakkan aturan ini setelah diberlakukan penetapan harga referensi. Menyikapi kondisi tersebut, penulis memiliki beberapa pandangan apabila harga referensi ini diberlakukan, bukan saja pada persoalan harga yang akan ditetapkan, akan tetapi yang lebih penting kita sikapi adalah bagaimana sistem pengawasan akan tata niaga DOC serta tata niaga LB ditingkat peternak. Kita semua tahu bahwa jumlah DOC yang diproduksi pada tahun 2017 berdasarkan paparan Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak Ditjen PKH dalam sebuah FGD yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik, mengatakan bahwa rata-rata produksi DOC sebesar 55 juta per minggu. Artinya angka tersebut sudah mendekati keseimbangan permintaan tetapi tidak sebanding dengan kapasitas kandang yang sudah terpasang. Apabila data ini memang benar maka selama tahun 2018 harga DOC akan tetap dalam kisaran Rp 4.850-5.500 per ekor. Sekali lagi bukan pada persoalan harga, tetapi proses

tata niaga dan distribusinya akan menyebabkan kerawanan di tingkat peternak, khususnya menjelang munggah puasa dan lebaran Idul Fitri di tahun 2018 ini. Kembali pada rencana pemberlakuan harga referensi di atas, apabila menyimak aturan-aturan yang sudah dibuat oleh pemerintah dalam upaya melindungi usaha peternak besar maupun kecil, pada tataran kebijakan cukup bagus. Tetapi, pada pelaksanaan di lapangan sangat sulit penegakannya. Semisal harga referensi untuk LB yang ditetapkan sebesar Rp 18.000 per kilogram, dengan batas atas 10% yaitu di angka Rp 19.000 dan untuk batas bawah 10% di angka Rp 17.000, maka siapa yang akan melakukan pemanggilan terhadap peternak yang menjual dibawah harga tersebut? Apakah Dirjen Perdagangan Dalam


Negeri Kemendag ataukah Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan? Artinya, sebelum semua itu terjadi harus ada yang mengoordinasi bahkan memanggil semua pelaku budi daya broiler agar menjaga harga tetap dalam kisaran yang wajar, atau syukur-syukur melibatkan instansi lain seperti Komisi Pengawas dan Perlidungan Usaha (KPPU) untuk menjaga iklim usaha supaya tetap sehat dan kondusif. Kita menyadari bersama bahwa usaha di bidang peternakan khususnya broiler saat ini berkembang cukup pesat. Fokus usaha masih pada kegiatan produksi (pakan, DOC, dan budi daya). Meskipun potensi pasar masih cukup luas di mana jumlah penduduk Indonesia yang besar, tetapi saat ini perlu sebuah aturan yang jelas khususnya di sektor tata niaga hilir. Sebagai contoh di sektor hilir, harga referensi Rp 18.000 per kilogram di tingkat peternak sejujurnya juga rawan bagi peternak kecil yang masih beternak secara tradisional. Biaya pokok produksi (BPP) yang tinggi jika dibandingkan dengan harga referensi seperti yang disebutkan di atas, juga tidak berdampak signifikan bagi pendapatan mereka. Akan tetapi, bagi peternak dengan modal besar yang mampu membuat kandang sistem closed house, harga tersebut akan memberikan efek yang sangat luar biasa serta mendorong semua produsen DOC untuk membangun closed house dan melakukan budi daya karena BPP lebih rendah jika dibandingkan dengan para peternak tradisional. Lebih memprihatinkan lagi dengan hasil budi daya yang samasama dijual kepada pedagang di pasar becek, maka peternak kecil juga tidak akan menikmati harga referensi tersebut, yang mana peternak besar tidak akan memberlakukan harga yang sama seperti peternak kecil.

Kita lihat saja di Jawa Timur, harga yang berlaku di pedagang lokal dengan yang dipotong ke rumah potong ayam (RPA) terdapat selisih Rp 1.000 per kilogram. Kondisi ini justru yang sangat mengkhawatirkan akan semakin banyak peternak dengan modal besar membuat closed hause karena adanya kepastian harga jual. Investasi di bidang budi daya harus menjadi perhatian pemerintah untuk dilakukan pengaturan yang tepat sehingga keberadaan peternak skala 5.000-15.000 ekor per siklus produksi tidak semakin punah. Terbukanya investasi di sektor budi daya broiler sebagai akibat tidak adanya aturan yang melarang para pemilik modal untuk berinvestasi, berakibat pada semakin banyaknya investor pabrik pakan yang juga turut serta melakukan budi daya sehingga menyebabkan semakin melemahnya posisi tawar para peternak kecil. Ketergantungan akan kebutuhan DOC, memaksa peternak kecil hanya mampu berbudi daya dengan ikut pola kemitraan. Kondisi ini karena menjadi peternak pola mandiri semakin sulit dalam mendapatkan akses DOC. Banyak investor melirik usaha perunggasan karena perusahaan dengan modal besar bebas melakukan budi daya dan dilindungi oleh undang-undang. Sebaliknya peternak kecil yang sulit mengakses permodalan perbankan akan semakin tenggelam dan hilang. Oleh karena itu, sebelum harga referensi diberlakukan, hendaknya semua pihak bisa berkumpul kembali untuk membahas solusi alternatif penyelesaian jika harga LB berada di bawah harga referensi. Beberapa solusi seperti penegakan peraturan di hulu khususnya di breeding farm harus jelas menyebutkan berapa jumlah produksi secara nasional. Selain itu data impor grand parent stock (GPS) juga harus terus dibenahi sehingga semua pihak bisa mengakses data tersebut sebagai bahan dalam perencanaan usaha tahunan. Jangan sampai akan ada ungkapan lagi “hanya Tuhan yang tahu akan kepastian produksi DOC”. Kondisi nyata kita pahami bersama apabila semua pihak tidak transparan terkait data, hanya akan mengorbankan banyak pihak termasuk perusahaan besar yang memang sudah lama berinvestasi di Indonesia. Pada sisi lain pihak investor baru yang belum tentu jelas konsep dalam membantu pemberdayaan peternak skala kecil justru berkembang pesat. Tentu saja, kita semua berharap perusahaan yang sudah lama hadir di Indonesia harus tetap berkembang, para investor baru juga harus tumbuh dan yang terpenting adalah peternak tetap bisa hidup di negerinya sendiri. Pekerjaan rumah yang masih banyak ini diharapkan bisa diselesaikan oleh semua pihak. Perusahaan besar juga harus mempunyai peran dalam meningkatkan kelembagaan peternak dengan menegakkan Permentan No.32/2017 bahwa produksi DOC 50% untuk budi daya sendiri dan 50% untuk dijual kepada peternak. Semoga usaha perunggasan baik broiler maupun layer terus berkembang dan masyarakat mempunyai kebanggaan sendiri bahwa daging ayam yang disajikan di meja makan mereka adalah hasil budi daya rakyat Indonesia. Penulis merupakan Staf Ahli Poultry Indonesia

Oleh Joko Susilo, S.Pt.

MARET 2018•POULTRY INDONESIA 94 - 95

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INFO Realisasi Harga Broiler (livebird) SENIN 04 JUNI 2018

()INFO Realisasi Harga Broiler (livebird) SENIN 04 JUNI 2018 yang dihimpun PINSAR Indonesia() ()SUMATERA() Aceh:14.0 Medan:15.5 Muara B...