Gonjang-ganjing usaha perunggasan nasional, khususnya
broiler, kembali terulang. Kurun waktu tanggal 25
Desember 2016 sampai dengan akhir Januari 2017, belum
menunjukkan ke arah perbaikan harga. Berbagai pertemuan
sudah dilakukan oleh masing-masing pihak peternak, pemerintah
daerah, hingga perusahaan besar. Tujuan utama dari pertemuan
tersebut tentu saja berharap harga live bird segera membaik.
Saat ini terjadi anomali harga live bird di tingkat peternak,
khususnya wilayah Jabotabek dan sekitarnya.
Dari data Pinsar
yang dirilis di beberapa grup WhatsApp (WA), posisi harga live bird
pada Senin 23 Januari 2016, untuk wilayah Jawa Barat berada di
angka Rp.15.000 sampai Rp.16.500; wilayah Jawa Tengah antara
Rp.16.500 sampai Rp.18.300; wilayah Jawa Timur pada kisaran
Rp.17.500 sampai Rp.18.500. Apa sebenarnya yang terjadi dengan
situasi seperti ini?
Bila merujuk pada hasil resume rapat yang beredar di beberapa
grup WA, alibi pabrikan sebagai pembenaran kondisi ini bisa
dijelaskan antara lain: pertama, karena adanya penyakit. Kedua,
rendahnya daya beli masyarakat. Seolah semua sepakat dengan
faktor-faktor tersebut, tetapi sangat aneh kenapa harga Jawa Barat
sangat jauh dari harga prediksi (untuk ukuran 1,4 kilogram di kisaran
Rp.17.500 sampai Rp.18.000).
Sedikit saya memberi gambaran, kalau boleh saya tarik ke
belakang menuju akhir tahun 2016 pada kisaran tanggal 21-31
Desember, saat itu seolah terjadi kelebihan DOC yang sangat banyak
untuk wilayah Jawa Timur. Sampai-sampai, banyak ditawarkan DOC
dari Jawa Timur dan Kalimantan untuk wilayah Jawa Barat.
Hargayang ditawarkan DOC broiler pada kisaran Rp.3.000-Rp.4.000.
Tetapi ada beberapa pabrikan masih bertahan di angka Rp.4.800
sampai Rp.5.000. Situasi ini sangat berbeda sekali dengan kondisi
pada akhir November sampai di minggu kedua Desember 2016.
Banyaknya DOC yang ditawarkan, informasi dari beberapa
sumber broker atau marketing DOC pabrikan saat itu, sebagian besar
kandang belum siap untuk chick in pada akhir tahun 2016 sebagai
akibat kandang-kandang kapasitas besar sudah masuk atau terisi
ayamnya di bulan November. Sehingga akhir tahun 2016, peternak
besar, atau kalau boleh saya sebut pabrikan dan afiliasinya, yang
melakukan budi daya sejak bulan Oktober-Desember posisi kandang
sudah terisi ayam. Tentu sebagai orang awam kita mempunyai
pendapat bahwa pabrikan berusaha mempertahankan harga DOC di
kisaran Rp.5.000 ke atas, dengan tujuan mempertahankan harga
dan menciptakan efek positif terhadap laporan penjualan tahunan
DOC serta pendapatan dari unit bisnisnya.
Tiga bulan terakhir pada kisaran bulan September sampai akhir
Desember, DOC seperti sulit didapat. Maka berbagai pertemuan
dilakukan peternak bahkan dilakukan demo untuk meminta Dirjen
PKH Kementan segera membuat Permentan yang mengatur usaha
budi daya perunggasan. Puncaknya pada tanggal 23 November
2016, Mentan melakukan kunjungan ke lapangan mengecek kondisi
peternak apakah benar harga DOC masih tinggi. Dalam dialog
tersebut, terlihat keinginan peternak agar DOC dijual dengan harga
wajar. Harga wajar yang diharapkan saat ini pada kisaran Rp.4.800,
sehingga harga live bird di tingkat peternak pada kisaran Rp.18.000,
dan karkas dijual di kisaran Rp.32.000-Rp.34.000. Harga
harapan ini ditindaklanjuti dengan pertemuan beberapa peternak
dengan perusahaan yang memproduksi DOC, di sebuah rumah
makan di kawasan Senayan Jakarta, dengan fasilitas dari Menteri
Pertanian. Dari dialog tersebut mengemuka semangat bersama
untuk mengangkat harga live bird di atas BPP peternak, serta
menurunkan harga DOC pada kisaran Rp.4.800. Awal Desember
adalah kado terindah dari pemerintah untuk peternak, di mana pada
tanggal 6 desember 2016 telah ditandatangani Permentan No.61/
PK.230/12/2016 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan
Ayam Ras di kantor KPPU. Lalu, bagaimana pasca ditandangani
Permentan tersebut? Apakah harga DOC dan live bird sesuai harapan
peternak?
Iya, kalau merujuk pada tiga poin yang dituntut oleh peternak
selama ini. Pertama, adanya pembagian distribusi DOC 50 persen
untuk peternak mandiri dan 50 persen untuk peternak oleh produsen;
pembuatan RPU untuk peternak yang memproduksi 300 ribu ekor
per siklus produksi; adanya pengendalian harga dan pasokan
pada saat harga rendah atau sebaliknya. Lalu, bagaimana kondisi
perunggasan setelah Permentan terbit?
Implemantasi Permentan di peternak
Sangat indah semua pasal demi pasal kalau kita membaca
Permentan tersebut. Tetapi, hingga saat ini belum berdampak besar
terhadap nasib peternak. Karena sangat sulit memantau angka
produksi 50 persen DOC yang didistribusi ke peternak mandiri.
Peternak sendiri terbagi menjadi 4 kelompok Peternak, meliputi
pelaku usaha mandiri, pelaku usaha Integrasi, koperasi dan peternak.
FEBRUARI
Buktinya, sebagian laporan beberapa perusahaan dalam rapat
23 Januari 2017 menyikapi gejolak harga di tingkat peternak,
bahwa distribusi produksi pabrikan yang digelontorkan ke peternak
pada kisaran 26 persen internal dan 74 persen eksternal. Bahkan
ada yang melaporkan untuk internal 10 persen dan eksternal 90
persen. Menurut saya, ini sangat aneh. Ada apa sebenarnya bisnis
perunggasan selama ini? Setelah kondisi tersebut dilakukan,
yang terjadi di tingkat peternak justru harga live bird khususnya
Jawa Barat justru jatuh. Apakah ini yang dinamakan by design
untuk menunjukkan kalau peternak tidak mampu menyerap dan
memelihara ayam sehingga tidak efisien, dan sangat rawan untuk
menstabilkan harga? Padahal kondisi ini menunjukkan pada
kita semua, selama ini semua hanya fokus memroduksi dengan
mengabaikan proses pasca panennya. Produksi peternak pabrikan
sebagian besar dijual ke pasar becek, yang mampu diserap dan
diolah kembali tidak lebih dari 50 persen produksinya sendiri.
Padahal, besar harapan peternak agar Permentan bisa tajam sebagai
sebuah peraturan, bukan tumpul seperti kondisi saat ini.
Poin penting tentu saja dari terbitnya Permentan No.61 adalah
hadirnya pemerintah ketika terjadi gejolak harga yang rendah
maupun sebaliknya, sehingga bisa memberikan kepastian berusaha
untuk peternak dan konsumen. Fungsi pengawasan tersebut saat
ini terasa masih sangat lemah. Fakta saat ini membuktikan bahwa
harga live bird di tingkat peternak dibawah BPP, kondisi bisa juga
diakibatkan belum adanya aturan yang dijalankan secara benar.
Penulis merupakan staff ahli majalah PI.
Oleh Joko susilo, S.Pt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar