
Usaha budidaya Broiler saat ini dalam kondisi baik, semoga tidak menyurutkan kita untuk berkumpul berkoordinasi antar peternak, terlebih manakala usaha dirasa sedemikian berat. Kondisi ini sangat terasa bila tidak ada dukungan dari Pemerintah dengan adanya aturan yang menyertai pelaku peternak kecil, himbauan PPUN ini sangat menyentuh kita semua, di mana peternak hendaknya selalu berkoordinasi dalam situasi kondisi apapun. Karena persoalan yang ada dibudidaya broiler semakin hari seharusnya semakin memberikan harapan untuk kebangkitan usaha peternakan rakyat.
Ketimpangan skala usaha menjadi berkepanjangan sehingga
muncul pro-kontra antara perusahaan besar dan perusahaan kecil
serta peternakan rakyat. Kondisi ini semakin terkesan morat marit
karena harga jual live bird atau panennya mengalami fluktuasi yang
hebat yang cenderung disektor produksi tidak mendapatkan profit
atau keuntungan sehingga ada istilah harga naik semata-mata
karena “demo”.
Merujuk kepada sejarah Industri Ayam di Indonesia tentu tidak
lepas dari peternakan rakyat (peternakan yang diusahakan oleh
rakyat dengan skala 15.000 ekor/silklus produksi) sehingga peran
pemerintah menjadi regulator menjadi sangat strategis. Semangat
ini menjadi angin segar untuk masa depan peternakan rakyat di
indonesia. Upaya yang dilakukan pemerintah akhir-akhir ini mulai
dari memberikan himbauan dan pembuatan permentan yang
berkaitan dengan usaha perunggasan khususnya peternakan ayam
Broiler sedikit banyak harus diakui membawa perbaikan harga
ditingkat peternakan.
Kilas balik bila kita semua tidak melupakan sejarah, perlu
melihat kembali Keputusan Presiden No.22 Tahun 1990 yang
mengatur tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras,
disebutkan bahwa : Peternakan ayam Ras adalah usaha budidaya
ayam ras petelur dan ayam ras pedaging, tidak termasuk
pembibitan. Seiring dengan perjalanan waktu situasi seperti ini
seolah menjadi rancu siapakah peternak yang dimaksud dalam
Kepres tersebut, karena keberlangsungan usaha budidaya broiler
justru banyak dilakukan dengan pola Mitra-Inti (kemitraan) yang
dijalankan oleh “Perusahaan” yang melakukan pembibitan dan
atau afiliasisnya. Untuk menarik benang merah yang memudahkan
mestinya peternak rakyat adalah usaha yang masuk dibidang
budidaya atau pemeliharaan dilevel broiler, apakah dia yang mandiri
atau yang membentuk kemitraan bukan perusahaan penghasil bibit.
Hingga saat ini permasalahan semakin bertambah tatkala
sistem kemitraan ini berkembang dijalankan oleh Pembibit,
sehingga seperti perang langsung dilapangan untuk mendapatkan
kandang Mitra. Kemitraan yang dijalankan oleh “peternak rakyat”
menjadi seperti tidak punya senjata karena terjadi “kelangkaan bibit
DOC”. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa pembibit akan
mengutamakan pada anggota nya yang menjadi Mitra dan atau
yang menjadi pelanggan pakan. Dengan kondisi ini bagaimana
akan kelangsungan hidup “peternak rakyat” yang tidak memiliki
kemampuan mengatur schedule chick ini, sedangkan kekuatan di
usaha broiler adalah ketepatan dan kecepatan dalam chick in DOC.
Apakah akan dibiarkan peternak rakyat ini hanya akan dapat DOC
saat banjir dan akan terseok-seok karena DOC tidak kebagian?
Sejak ditanda tangani permentan 26/2016, sudah hampir 2
bulan terakhir harga DOC “manteng” pada kisaran Rp. 5250 sampai
dengan Rp. 5500. Kondisi ini sangat menyulitkan peternak yang
tidak memiliki akses kepada perusahaan. Di pihak lain perusahaan
yang memiliki usaha breeding farm sedikit bergembira karena harga
DOC FS sudah diatas HPP. Bagaimana dampak kenailkan harga DOC
dengan hasil akhir budidaya di tingkat peternak.
Akan semakin sulit bagi peternak rakyat bila mendapatkan
harga DOC yang sudah tinggi, harga pakan juga meningkat namun
tidak memberikan efek performance yang lebih baik maka HPP akan
meningkat tajam hingga 7,6%:
Disinilah yang menjadi kesulitan internal peternak rakyat yang
belum banyak tersentuh, sehingga sudah seharusnya PEMERINTAH
HADIR.
Bila saya mengutip pendapat ketua Sekjen GOPAN bapak
Sugeng Wahyudi, dibudidaya perunggasan “orang yang paling
bahagia dan bisa tertawa dititik akhir ketika peternakan habis”
adalah orang yang “sadis” karena membiarkan usaha peternakan
rakyat dengan skala usaha yang terbatas modal terbatas “mati”. Coba
bayangkan 20% keberadaan peternak rakyat dijadikan tameng atas
nama “Peternak Rakyat” menghadapi gempuran investasi asing
yang bakal masuk ke Indonesia, tetapi nasib peternak sendiri seolah
dibiarkan karena energi kita selalu terkuras membahas over suplai
produksi doc.
Kondisi ini tentu saja membutuhkan kehadiran pemerintah
sebagai regulator, keberadaan usaha peernakan rakyat diusahakan
secara turun temurun dari kapasitas 500 ekor sampai 5.000 ekor
dengan pasar yang diciptakan oleh peternakan didesa-desa.
Kehadiran perusahan besar harus bersinergi dan membantu
keberadaan peternakan rakyat bukan justru sebaliknya, usulan
pembetukan BUMN perunggasan yang digagas Ketua KPPU
Syarkawi Rauf hendaknya harus didukung semua pihak apabila
keberadaan perusahaan besar tidak mau membina peternak kecil.
Pembentukan BUMN perunggasan tentu sangat diharapkan
kehadirannya terkhusus pengelolaan pada sektor hulu yakni
membantu ketersediaan DOC bagi peternak kecil. Membangun
Breeding dan Feedmill adalah sebagai mediasi kongkrit untuk
memajukan peternak rakyat, disinilah kehadiran Pemerintah
ditunggu untuk bisa memberikan iklim berusaha yang berkeadilan
untuk memberikan kekuatan kepada peternak rakyat sehingga
mampu bersaing di pasar.
Tentu saja dengan keterbatasan kolom, tulisan ini masih
sangat perlu diskusi. Mengingat kembali pada kekuatan usaha
perunggasan diatas dua komponen usaha yakni doc dan pakan,
setiap mengalami kenaikan tidak dibarengi dengan kepastian
kenaikan harga di tingkat LB. Terlebih lagi kondisi usaha ini akan
berjalan normal apabila ada konsep “berbagi” tidak sifat menang
sendiri terhadap peternak rakyat. Staf ahli PI dan anggota PPUN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar